Read more WTF stuff 👉

Search whatever here 👇

30.6.15

Kendaraan Dinas Sudah Jelas untuk Dinas

Setiap tahun selalu ada pembahasan tentang hal ini, tentang boleh atau tidaknya kendaraan dinas dipakai oleh PNS untuk kepentingan keluarga mereka, atau mudik saat lebaran. Alhamdulillah, tahun ini, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Yuddy Chrisnandi [secara verbal] mengeluarkan kebijakan bahwa PNS boleh menggunakan kendaraan dinas untuk mudik lebaran dengan persyaratan tertentu. Alasannya, untuk memberikan kesejahteraan pada pegawai.

Berikut persyaratan yang mesti dipenuhi PNS menurut Pak Yuddy untuk menggunakan kendaraan dinas saat lebaran:
  1. PNS sudah berkeluarga, memiliki istri dan anak.
  2. Golongannya masih Eselon III ke bawah.
  3. Tidak memiliki mobil pribadi/tidak punya apa-apa.
  4. Harus memiliki izin tertulis dari atasan.
  5. Menggunakan uang sendiri untuk BBM-nya (tidak dirincikan tentang tanggungan perawatan/kerusakan yang sangat mungkin terjadi saat mudik).
Ha! Persyaratan yang cukup sederhana, menurut saya. Terlalu sederhana bahkan. Dan ternyata, reaksi berbeda muncul dari kepala daerah seperti Ahok yang tetap tidak mengizinkan PNS Jakarta menggunakan mobil dinas.


Sebelum berangkat ke alasan mengapa semua ini terasa salah, apakah Anda ingat kisah pemimpin Muslim, Kalifah ke-8 Damaskus, Suriah bernama Umar bin Abdul Aziz atau Umar II? Beliau merupakan salah satu sosok yang saya kagumi.

Izinkan saya menyegarkan ingatan Anda.

Di suatu malam, Umar yang merupakan kepala daerah Damaskus tengah bekerja mempelajari dokumen kenegaraan di ruangan kerjanya diterangi oleh pijar lampu. Kemudian, istrinya hendak memasuki ruangan untuk membicarakan sesuatu dengannya.

Umar bertanya, "Apakah yang hendak dibicarakan urusan kenegaraan atau pribadi?"

Kemudian, istrinya menjawab, "Urusan pribadi."

Seketika Umar mematikan lampu kerjanya, kemudian Istrinya terheran seraya berkata, "Mengapa kau matikan lampunya?"

Umar menjelaskan, "Ini adalah lampu milik negara, harus digunakan untuk urusan kenegaraan [seperti mempelajari dokumen kenegaraan], bahan bakarnya juga memakai uang negara. Kau bilang ingin membicarakan urusan pribadi, ambilah lampu pijar milik keluarga kita karena itu kita yang biayai sendiri."

Kemudian Istrinya mengambil lampu pijar milik keluarga, menyalakannya dan memulai perbincangan bersama Umar.
Cukup mengejutkan bukan? Anda tidak membaca cerita seorang Muslim yang mengangkat senjata berteriak "Allahu Akbar", membajak agama yang saya anut, dan memukuli bahkan membunuh pihak yang ia rasa berbeda dengan kepercayaannya?

Karena, sebenarnya Islam adalah nilai-nilai yang ada seperti di riwayat di atas. Anyway, Saya agak ragu Pak Yuddy dan kepala daerah lain yang mengizinkan penggunaan kendaraan dinas untuk mudik lebaran sudah pernah mendengar riwayat tersebut, apalagi menyerap hikmah dari itu semua.

Berikut adalah alasan saya yang menjelaskan mengapa segala sesuatu mengenai kebijakan verbal ini terasa salah:

1. Melanggar Permen PAN No 87 Tahun 2005 tentang Pedoman Peningkatan Pelaksanaan Efisiensi, Penghematan dan Disiplin Kerja 


Kebijakan Pak Yuddy hanya bersifat verbal, dan agaknya tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Berhubung dari berbagai artikel yang saya baca tidak saya temukan penjelasan dasar hukum Pak Yuddy memperbolehkan kendaraan dinas dipakai mudik, jadi saya pakai Peraturan Menteri PAN yang masuh valid hingga kini dan masih tersimpan rapi di website resminya.

Di Permen tersebut disebutkan bahwa kendaraan dinas adalah untuk penunjang
terselenggaranya proses penyelenggaraan pemerintahan negara.
Apakah mudik termasuk itu? Saya rasa tidak. Dan disebutkan pada lampiran II bahwa:

a. Kendaraan Dinas Operasional hanya digunakan untuk kepentingan dinas yang
menunjang tugas pokok dan fungsi.
b. Kendaraan Dinas Operasional dibatasi penggunaannya pada hari kerja kantor,
c Kendaraan Dinas Operasional hanya digunakan di dalam kota, dan
pengecualian penggunaan ke luar kota atas ijin tertulis pimpinan Instansi
Pemerintah atau pejabat yang ditugaskan sesuai kompetensinya.

Cukup jelaslah, yah.


2. Biaya Mudik: Coba Kita Hitung Lagi

Menurut Pak Yuddy, Permen PAN di atas sudah tidak relevan lagi untuk lebaran saat ini karena menurutnya sudah tak ada lagi tunjangan hari raya, lebaran juga bersamaan dengan masuknya anak-anak sekolah, plus situasi ekonomi yang sedang cukup berat. Hah? Tapi selama belum ada perubahan atas Permen yang sudah dianggap tidak relevan tersebut, setahu saya, Pak Yuddy tetap termasuk melanggar peraturan yang dibuat oleh institusinya sendiri.  Revisilah dulu Permen-nya.

Pak Yuddy selalu berkata bahwa seolah dengan menggunakan kendaraan dinas, PNS pasti akan lebih hemat dalam hal biaya mudik. Saya adalah pengguna setia kendaraan umum dengan segala kebobrokannya selama 25 tahun, dan percayalah bahwa kendaraan umum menawarkan biaya yang lebih murah. Pasti.



Seringkali, berpergian menggunakan kendaraan pribadi malah menelan biaya yang lebih mahal. Perhitungkan biaya keluar-masuk jalan tol, biaya BBM, perawatan dan biaya tak terduga lainnya. Bayangkan jika perjalanan menggunakan kendaraan dinas tersebut dilakukan satu kali ke kampung halaman, berkali-kali di kampung halaman, dan satu kali untuk pulang ke kota tempat bekerja. Mahal. Pasti. Kita belum membicarakan biaya psikologis akibat kemacetan, keletihan menyetir, kemarahan, rasa kantuk yang parah yang tidak terhitung itu.

Apakah Anda sebenarnya berniat memiskinkan dan menambah utang para PNS Eselon III ke bawah?

3. Meremehkan Ketahanan Para PNS

Saya tidak mau meremehkan para PNS di seluruh Indonesia. Jika alasannya kondisi angkutan umum kita yang berantakan, saya saja yang bukan PNS selama bertahun-tahun bisa bertahan dan menikmati dinamika dari itu semua.

PNS pasti lebih bisa. Walaupun kondisinya separah kapal KM Kelud Pelni yang direkam Joko Anwar ini? Ah, pasti bisa. Wah, PNS membawa istri dan anak? Ah, pasti bisa. Saya selalu melihat sebuah keluarga berpergian antar kota di dalam angkutan umum, dan bisa.

Jika kita mau merefleksikan diri terhadap kisah Umar bin Abdul Aziz di atas, saya yakin meskipun sudah diizinkan menggunakan kendaraan dinas untuk mudik, kita tidak akan menggunakannya.

Pengejawantahan dari kisah di atas dapat kita lihat di pelarangan menerima parsel oleh para pejabat negara yang bisa dianggap sebagai gratifikasi oleh KPK. Itu merupakan hal kecil yang pengaruhnya besar terhadap bagaimana kita memandang peranan sebuah parsel dalam lobby politik.

Dan, sudah semestinya kendaraan dinas yang sama dengan pijar lampu negara dianggap sebagai hal kecil yang dapat memengaruhi cara berpikir kita secara progresif.

7.6.15

Cerpen: Emma II

Jumat di kantor

Jam dinding kantor menunjukkan pukul 16:45.

Sore itu aku bekerja keras seperti biasa. Mencari sebongkah berlian demi menggapai sejumlah impian di masa depan.

Hari Jumat adalah hari yang amat sangat keramat karena aku selalu teringat keluarga dan teman sejawat di kampung halaman yang telah menunggu.

Setiap Jumat petang aku pulang ke Purwakarta.

Sialan. Aku mendadak penasaran. Aku membuka Twitter di desktop sebelum berjalan kaki menuju Pancoran di mana travel menuju Purwakarta bertengger. Aku ketik nama “Emma” di search tab dan—meskipun Emma mengunci akunnya—munculah sederet riwayat twitnya. Ah, aku kira tidak ada salahnya.

Diantara sederet tweet, terdapat sebuah foto berisi dua pasangan dan Emma ada di situ bersama seorang lelaki berbadan tegap, wajahnya dipenuhi kumis dan janggut dan ia memakai kacamata yang khas.

Mungkin dialah lelaki sejati yang Emma ceritakan kepadaku. Mungkin dialah cinta mati Emma dahulu. Ketika melihatnya, aku merasa seperti langsung mengenalnya.

Ah, aku masih yakin kalau ini tidak ada salahnya.

Pancoran

Jika seorang anggota Mossad ditugaskan membunuhku, sangat mudah untuk melacak seseorang yang memiliki kegiatan rutin di hari Jumat sepertiku.

Pulang dari kantor aku pasti berjalan selama 30 menit menuju Pancoran melewati rute yang selalu sama, yaitu memotong jalur Patra Jasa. Sampai di sana aku pasti langsung ke lantai dua Pancoran Square untuk menyantap makanan ala Jepang sebelum sembahyang dan kemudian kembali ke bawah untuk membeli tiket travel dan menunggu kendaraan menuju kampung halaman.

Aku melakukannya seperti biasa, tanpa firasat apa-apa, tanpa merusak sedikitpun keseimbangan dunia.

Seperti biasa, aku menikmati santapan ala Jepang di lantai dua Pancoran Square dan duduk di tempat duduk favoritku yang menghadap kaca besar di mana aku bisa melihat orang-orang yang menaiki escalator langsung menuju lantai dua di depan mukaku.

Dari tempat duduk itu aku bisa melihat kerumunan orang-orang yang mendaftar dan memabayar untuk menaiki travel menuju Purwakarta. Ya, pemandangan langsung menuju meja pembayaran di lantai satu.

Di tengah momen menikmati santapan sebelum perjalanan, tiba-tiba mataku dipaksa untuk memperhatikan seonggok daging yang dikerubuti rambut di sekitar mukanya dan mengenakan kacamata khas yang seolah aku baru melihatnya beberapa saat yang lalu.

Ia terlihat seperti mencari seseorang di lantai dua sekitar restoran tempatku menjalani ritualku.

Aku perhatikan lagi, aku ingat-ingat lagi, dan tidak salah lagi, dia adalah mantan kekasih Emma.

Submanusia

Aku tidak merasakan apapun.

Otakku langsung beroperasi seperti detektif dengan memunculkan berbagai pertanyaan yang kemudian melahirkan beberapa pernyataan.

Apa yang mantan Emma lakukan di sini? Siapa yang dia cari? Bagaimana ia bisa berada di sini di jam seperti ini?

Proses sintesis pernyataan dari pertanyaan kemudian menghasilkan:

Mungkin dia dan Emma sudah berjanji untuk saling bertemu; mungkin mereka sudah berbaikan dan lelaki ini akan ikut ke Purwakarta; mungkin lelaki ini ingin memberikan kejutan akan kehadirannya di Pancoran Square.

Satu hal yang pasti, aku semacam mengetahui bahwa Emma akan datang malam itu dengan melihat kehadiran sosok ini. Aku harus menjaga jarak malam itu karena mereka pasti lebih memiliki kepentingan dan relevansi untuk menghabiskan malam berdua.

Jikapun kami bertiga bertemu, aku rasa dengan bersahabat Emma akan memperkenalkanku kepada sosok itu sebagai kakak kelasnya yang culun dari kampung, semua senang, semua bahagia, semua berteman di dunia yang sempurna ini.

Aku memutuskan untuk menunggu di teras Square setelah sembahyang dan membayar tiket untuk menghirup udara segar karena ternyata mobilku terjebak macet. Di dalam terlalu sesak dan akan semakin menyesakkan.

Sambil menenggak air mineral, Tuhan memberi kesempatan kepada mataku untuk kemudian secara tidak sengaja melihat Emma yang mengenakan kaos berwarna merah muda memasuki pintu yang berada jauh di kiriku. Emma tidak melihatku.

Dari arah punggungku, muncul kembali seonggok daging yang dikerubuti rambut di sekitar mukanya dan mengenakan kacamata khas yang seolah aku baru melihatnya beberapa saat yang lalu. Ia kembali terlihat seperti mencari seseorang sesaat setelah Emma memasuki Square.

Ia melihat Emma, dan aku memperhatikannya berjalan ke atas mengejar Emma.

Aku kembali ke dalam untuk mengecek posisi mobil, dan aku bertemu teman lamaku, Ari, di sana dan kami mengobrol seru sekali. Di tengah lobi Square kami duduk dan berbincang hingga tak lama kemudian petugas travel memanggil Emma yang duduk persis di tempatku makan di atas.

Ia bersama mantan kekasihnya kulihat sebelumnya, dan Emma tak terlihat antusias. Mantan kekasihnya berdiri di pintu keluar sementara Emma berjalan menuju ke arah meja pembayaran di dekatku. Ia kemudian duduk di sebelahku.

“Hai..” sapaku. “Hai..” balasnya dengan ekspresi yang datar.

Aku bersumpah untuk menjaga jarak dengannya malam itu. Duduk di antara Emma dan teman lamaku, aku memilih untuk berfokus menghabiskan sesi mengobrol dengan teman lamaku, Ari, dan baguslah, Emma pun fokus dengan teman elektronik genggamnya.

“Kang, saya mau ke dalem dulu yah. Mau beli sesuatu,” ujar Ari di tengah obrolan seru kami.

“Kalau mau minum saya ada nih,” balasku berspekulasi.

“Engga kok. Saya mau beli yang lain hehe..” balas Ari sambil melenggang menuju market Square.

Benar, deretan tempat duduk itu hanya menyisakan aku dan Emma dengan beberapa orang di depan dan belakang kami yang sama-sama menunggu mobil, dan tentu saja mereka pun sibuk tidak berinteraksi satu sama lain kecuali dengan perangkat elektronik kesukaan mereka.

Aku dan Emma pernah menonton film barsama di bioskop, kami banyak berbagi bercerita, kami memiliki momen yang menyenangkan beberapa hari lalu. Setidaknya itu menurutku. Rasanya, akan sangat tidak pantas dan canggung jika di momen itu aku sama sekali tidak berbicara dengannya.

“Naik yang jam berapa, Bu?” tanyaku usil.

“Jam 7,” jawabnya singkat dan ketus.

Ya Tuhan, apa salahku? Apakah pertanyaanku terlalu vulgar? Apakah mukaku menujukkan ekspresi yang tidak pantas saat bertanya? Apakah aku telah melakukan genosida? Apakah aku telah menampar seorang wanita sebelumnya sehingga aku pantas diperlakukan seperti itu?

“Oh..” jawabku sambil mengubur dalam-dalam usaha berinteraksi lebih lanjut seperti sewajarnya manusia.

“Lama banget sih, mba! Aku udah nunggu dari tadi nih,” ujar Emma kecewa.

“Mba, Mas ini udah nunggu lebih lama loh dari Mba. Biasa aja tuh dia,” balas petugas travel.

“Ya, namanya juga macet. Mau gimana lagi? Mau ngoceh juga ga bikin mobil itu nyampe lebih cepat ke sini toh,” ujarku menanggapi pernyataan si operator.

Emma cemberut, kemudian si operator mencoba memberikan harapan,

“Nanti deh, Mba. Kalau ada uangnya, kami bakalan tambah armada, biar lebih banyak dan lebih cepet rolling-nya.”

“Kalau punya duit, mending kalian fokus dulu ke maintenance kendaraan deh. Soalnya minggu kemarin mobil gue sama Mba ini ngalamin ban bocor tuh di tengah jalan tol,” kataku.

“Iya tuh, Mba!” sambar Emma antusias.

“Oh, itu mobilnya Mas yang kemarin gangguan. Saya udah bilang supirnya sebelum pergi buat cek kendaraan, jangan cari penyakit, eh dia ga nurut, Mas,” kilah si operator.

“Saya duduk di belakang tuh, Mba. Itu kan…” Emma meramaikan pembicaraan hingga ditengah penjelasannya si operator harus menjawab telepon yang masuk.

“Ih, tuh kan, aku mah ga didengerin cerita juga,” ujar Emma sambil cemberut manja sambil menepuk pahaku dan menatap wajahku yang tersenyum geli.

“Hahaha.. Yauda, nih ngomong sama botol air mineralku aja. Dia pasti mau dengerin,” godaku sambil memainkan botol minuman plastic di atas pahaku mengahadap Emma yang mulai terlihat senyumnya.

Kami kemudian saling tertawa dan es di antara kami mungkin tidak hancur, tetapi yang pasti, es di antara aku dan Emma telah mencair. Kemudian…

“Prakkk!”

Seseorang menampar mukaku dari sebelah kiri hingga kacamataku terjatuh ke lantai cukup keras secara tiba-tiba dan jantan sekali. Semua orang di sekitarku terdiam kaget melihat ke arahku, ada yang menertawakan, namun kebanyakan dari mereka hanya diam saja.

Ternyata, dia adalah submanusia yang sedari sore tadi mencari-cari Emma seolah dia adalah seorang buronan.

Orang yang telah melanggar batas privasiku ini kemudian bersabda, “Apa lo?! Ga terima gue gituin?! Untung nggak gue tonjok juga!”

Ingatlah, sabda itu.

“Sebentar, sebentar..” ujarku kepadanya sambil mengambil kacamata murahanku dari lantai.

“Masalah lo apa, dan salah gue apa? Gue cuma lagi ngobrol sama adik kelas gue di sini. Ga macem-macem,” balasku atas sabdanya.

“Udah ih! Kayak anak kecil aja!” teriak Emma kepada submanusia itu. Kemudian tangan Emma ditarik dengan kasar dan ia dibawanya ke luar Square.

Perasaanku saat itu rasanya seperti baru saja divonis mengidap kanker, dan vonis itu diumumkan di tengah lobi Square di mana semua orang berada di sana mendengarkan.

Bingung sekali.

Aku bingung mengapa ini semua seolah telah ‘direncanakan’ dengan sangat rapi. Semua scene yang aku lihat dari awal perjalananku menuju tempat ini seolah membangun cerita tersendiri.

Aku bingung dibuat-Nya.

Mobil travel kami datang, dan sialnya, Emma duduk berselang satu orang di sebelah kiriku.

Submanusia itu tidak ikut. Kami diam seribu bahasa sepanjang perjalanan menuju kampung halaman. Suasana itu bagaikan neraka yang bisu dibandingkan dengan suasana awal kami bertemu.

Aku tidak menanyakkan apa yang baru saja terjadi? Siapa orang itu? Apa masalahnya? Apa salahku? Karena bagiku, jikapun ada yang harus dijelaskan, itu harus datang dari Emma terlebih dahulu, bukan dari pertanyaanku.

Sepanjang perjalanan aku hanya dapat mendengar isak tangis.

Cerpen: Emma

"Setiap hari aku terbangun rasanya seperti terbangun dari mimpi satu untuk masuk ke satu mimpi yang lain".
Namanya Emma. Adik kelas semasa SMA yang aku temui tak sengaja di travel menuju kampung halaman.

Aku dan dia terpaut dua tahun. Ketika aku kelas 3 SMA, dia adalah salah satu primadona di angkatannya. Banyak sekali lelaki dari berbagai tingkat dan kelas yang mengincar perhatiannya.

Tentu saja, kami tidak pernah mengobrol waktu itu. Aku hanya seorang murid yang culun di kelas yang berisikan orang-orang yang dicap dorky, dan dia jauh berada di langit dengan sebangsanya.

Aku tidak pernah terlalu memperhatikannya, karena aku tahu diri. Tetapi, orang-orang di sekitarku sering membicarakannya ketika kami sedang berkumpul, jadi mau tak mau aku harus yaaa.. sekedar tahu tentangnya.

Beberapa tahun kemudian kami dipertemukan di sebuah travel menuju Purwakarta. Aku memberanikan diri untuk menyapanya dengan sopan layaknya manusia beradab lainnya, dan dia—untungnya—membalas sapaan itu.

Aku tidak menyangka bahwa dia sangat supel dan menyenangkan untuk diajak berbicara. Aku bahkan tak sempat berpikir bahwa ini adalah primadona sekolah yang tidak semua orang dapat mengajaknya berbicara sedekat dan seterbuka ini.

Setengah perjalanan menuju kampung halaman kami habiskan mengobrol ngaler-ngidul. Ini sungguh sulit untuk dipercaya.

Ternyata dia juga bekerja di Jakarta, di gedung yang sama tempat biasa aku menonton film di bioskop.

Ia berkata, “Kalau nanti kamu nonton ke situ lagi, kasih tahu aku dong,”

Aku mejawab, “Dengan senang hati. Tapi, gimana caranya coba aku menghubungi kamu?”

Suasana agak sedikit canggung setelahnya dan dia tersipu malu.

Kemudian ia bertanya, “Jadi mau apa dong? Nomor HP? Pin BB?”

Dan aku menjawab, “Ya, terserah. Apapun yang kamu rela kasih.”

Tak disangka dia menawarkan pin Blackberry Messenger-nya dengan sukarela. Aku masih tidak percaya bahwa itu benar-benar terjadi.

Berpisah di pangkalan travel di kampung halaman kami, aku menuju angkutan kota tercinta, dan dia menuju mobil di mana seorang pria yang semenjak di perjalanan tak henti meneleponnya sudah menunggunya.

 Aku yakin dia bukan Ayahnya.

Rendezvous

Kami kembali ke Jakarta secara terpisah di malam yang sama. Kami kembali ke rutinitas masing-masing. Hari itu, dengan semangat bujangan lapuk, aku mengajakanya untuk menonton premiere sebuah film di dekat kantornya sesuai pakta verbal kami tempo hari.

Tentu saja aku berharap dia akan menolak mentah-mentah ajakanku seperti gadis normal lainnya, dan hari-hariku akan berjalan normal kembali setelah itu.

...Ternyata dugaanku meleset.

Dia menerima tawaranku dan kami berjanji untuk bertemu hari itu. Di mall besar itu kami bertemu.

“Sorrryy telat, tadi aku banyak kerjaan,” begitu teriaknya setelah menemukanku di tengah kerumunan orang yang akan membeli tiket bioskop.

“Kita telat 10 menit. Ya udahlah yah. Kamu yakin mau nonton film ini?” tanyaku meyakinkan.

“Emang film apa sih? Action?” tanyanya. “Iya, kamu suka?” jawabku. “Suka dong..” jawabnya.

Cerita Emma

Setelah sekitar dua jam menyaksikan Emma menutup telinganya sepanjang film ditayangkan, kami memutuskan untuk mencari sesuatu untuk dimakan. Kami berbincang saling berhadapan di meja kayu untuk berdua di restoran burger cepat saji.

Mekipun kami memakan ‘sampah’, bagiku, malam itu semacam anugerah.

Malam itu adalah kesempatan pertama—dan mungkin terakhir—untuk memandangi dengan leluasa wajahnya yang berwarna seperti buah persik nan ayu berpadu dengan rambut hitamnya yang halus sebahu.

Aku berusaha untuk tidak canggung, dan memantapkan diri untuk menjadi diri sendiri di depannya. Aku memutuskan untuk menjadi diri sendiri layaknya mengobrol bersama teman-teman sekolah dan kampus yang menyenangkan dan terkadang meneganggkan.

Aku tidak akan menahan diri—baiklah, pengecualian untuk beberapa hal yang terlalu pribadi baginya, tapi bukan bagiku.

Entah mengapa ia mengarahkan arah pembicaraan ke topik yang paling menyenangkan, yaitu pernikahan. Tak lama kemudian, aku semakin mulai memahami alasannya mengarahkan pembicaraan ini.

“Kalau kamu udah punya calon istri, saling mencintai, dan dia ngebet nikah sementara modal kamu nikah belum kekumpul, apa kamu mau minjem duit ke satu bank aja buat melangsungkan pernikahan secepatnya?” tanya Emma kepadaku.

Berusaha untuk tenang, aku menjawab, “Nggak. Aku akan minta dia buat mencari lelaki yang sudah siap menjaminnya secara materi dari mulai pernikahan hingga setelahnya, jika dia memang udah bener-bener ngebet.”

“Jika memaksakan skenario meminjam sebagian besar biaya menikah ke bank akan terlalu banyak hutang yang mesti dibayar. Kasihan keluargaku nanti,” lanjutku.

Ia mengangguk tanda setuju dan sedikit menyunggingkan senyum yang semakin membuat perasaanku tidak karuan. Aku malah semakin penasaran.

“Tapi kalian kan sudah sangat saling cinta?!” ujarnya.

“Ya, nggak  apa-apa. Itu sikapku. Harga yang harus dibayar memang sangat mahal. Tapi, jika memaksakan seperti itu juga aku nggak yakin itu langkah yang tepat,” jawabku.

Dia terlihat semakin terbuka dengan pembahasan ini.

“Itu salah satu alasanku putus dengan mantanku kemarin,” kata Emma, tanpa aku bertanya sedikitpun tentang hal itu sebelumnya.

“Dia ingin kami cepat menikah. Tapi, dia ingin aku harus meninggalkan karirku. Poin itu aku keberatan, aku baru lulus, masih muda dan masih hidup, masih ingin mecoba dan meraih banyak hal.

"Aku minta kalau kami tunangan dulu aja. Tapi dia nggak terbuka dengan kompromi. Seolah-olah dia ingin kami menikah bulan depan. Segera!” ceritanya penuh emosi.

“Apa menurut kamu aku egois dengan tidak ingin melepaskan karirku dan menolak permintaannya untuk menikah di umurnya yang sudah harus menikah—27 tahun—dan akhirnya kami putus?” tanya dia kepadaku.

“Kalau kamu nanya aku, jawabanku Tidak. Kamu tidak egois. Aku percaya kalau setiap orang berhak untuk memilih apa yang terbaik bagi hidupnya. Hidupmu itu ya keputusanmu. Tapi, selalu ada ruang untuk kompromi,” jawabku sok tahu.

Wajahnya menunjukkan tanda setuju atas penjelasanku.

Lalu ia menjelaskan, “Aku bilang ke dia, wanita itu banyak di dunia ini. Carilah dia yang mau dan siap kamu ajak menikah secepatnya, terus putusin aku”.

Ia bercerita bahwa mantan kekasihnya telah memiliki sebagian modal pernikahan dan hendak menggunakan skenario meminjam ke bank yang Emma tanyakan kepadaku. Emma dan orangtuanya cenderung menentang skenario itu. Dan Emma sangat mempertimbangkan sikap orangtuanya.

“Apa mantan kekasihmu itu sudah mencap kamu sebagai wanita egois secara langsung di depanmu?” tanyaku serius.

Setelah 1 menit ia memandang mataku yang tidak bercanda dengan pertanyaan itu, aku menatap matanya yang berkaca-kaca menahan tangis, sambil menutup mulutnya dengan tisu ia menjawab,

“Ya.. Itu yang membuatku merasa bersalah. Aku menolak seseorang di usianya yang sudah harus menikah karena aku ingin berkarir. Aku jadi merasa egois, terlebih ketika dia mengucapkannya secara langsung ke mukaku,” lanjutnya.

“Ah, kamu ini. Sekarang aku tanya, siapa sih yang nentuin umur 27 itu umur harus udah nikah? Atau 34 itu terlalu tua untuk nikah? Atau 58 tahun itu kamu ga boleh nikah? Ada aturannya? Kan nggak ada,” jelasku.

“Ngg.. Iya juga sih,” balasnya sedikit terisak.

“Jadi, menurutku, itu hanya akal-akalan masyarakat aja di mana kita mesti bertahan hidup di dalam pemahaman umum mereka itu dengan segala tekanan yang menyerang dari segala arah. Kamu nggak mesti terlarut dalam rasa bersalah gitu,” lanjutku.

“Kamu harus mengerti bahwa di luar sana nggak semua orang berpikiran seperti mantan pacarmu itu. Ada orang-orang yang berpikir seperti aku melihat masalah kamu ini. Jadi, nggak usah kamu merasa egois begitu yah?” hiburku.

Aku mencoba untuk mengerti sikap emosional mantan kekasih Emma yang memaksa untuk menikah setelah ia menjelaskan bahwa sudah 5 tahun ia menabung khusus untuk sebuah pernikahan suci. Namun, seketika rasa simpatiku buyar.

“Dia selingkuh..” jelas Emma. “Dia selingkuh sebelum kami putus setelah dia memaksa mengajakku menikah. Itu jadi salah satu alasan mengapa aku bisa memutuskan hubungan kami,” lanjutnya.

“Gimana kamu tahu kalau dia selingkuh?” tanyaku usil tanpa berharap dia akan menjawab pertanyaan itu.

“Aku lacak riwayat akun media sosialnya. Kami nggak saling follow karena suatu hal. Tapi, dia memanfaatkan itu dengan main gila dengan wanita lain. Sejujurnya, aku nggak terlalu mempermasalahkan masalah selingkuh itu,” jelasnya.

Itu membuatku cukup terkejut. Bagaimana bisa seorang primadona di SMA ternama di Purwakarta yang hingga kini tidak kehilangan pesonanya bisa diselingkuhi oleh pacarnya?

Aku saja belum tentu bisa bersama wanita dengan kualitas seperti ini. Dunia ini sudah gila.

“Aku tetap yakin kalau kamu bukanlah pihak yang egois. Mantan kamu itu menuruti permintaan pertamamu untuk mencari wanita lain yang mau diajak nikah, tapi dia tidak menuruti permintaan keduamu, yaitu putus dari kamu. Lalu siapa yang egois? Siapa yang nggak mau rugi di sini?” jelasku.

Ia tertegun cukup lama, mencoba mencerna logika balasanku. Kemudian ia terhenyak, dan membalas,

“Iya juga, yah..”

“Kamu itu udah nawarin solusi dan mau berkompromi dengan minta tunangan. Arahnya masih sama dengan pernikahan. Aku jadi kasihan ke mantan kamu itu” lanjutku.

“Lho?! Kok kasihan ke dia? Kok nggak kasihan ke aku?” sambarnya.

“Buat apa aku kasihan ke pihak yang menang? Orang seperti mantan kamu itu yang mesti kita santuni dan kasihani,” jawabku.

Ia terdiam sejenak seolah belum pernah ada yang menyebutnya sebagai pihak yang menang; seolah ini pertama kalinya ia menjadi pihak yang menang dalam riwayat perjalanan hidupnya dengan mantan kekasihnya.

“Makasih, yah. Seengaknya sekarang aku punya sudut pandang yang berbeda melihat permasalahan ini,” ujarnya.

“Sama-sama. Seru juga yah cerita kamu. Drama banget,” jawabku usil.

“Hih! Kamu..” bentaknya manja.

Kami sudah merasa letih menghabiskan hari dengan bekerja, berdiskusi dan bercengkrama. Emma menguap beberapa kali. Tetap saja cantik.

“Yuk, pulang?” ajakku.

“Yuk..” jawabanya sambil mengeluarkan lip balm dan… mengoleskan kepada bibir tipisnya yang sudah merah alami.

Ketika kami berjalan ia merogoh tasnya dan berkata, “Nih, mau permen?”

“Eh, mau dong. Thanks yah..” jawabku.

Dalam perjalananku setelah mengantarkan Emma pulang, aku menyadari bahwa sebenarnya tujuan hidup orang pada umumnya teramat sederhana. Namun, banyak sekali kerumitan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan sederhana itu.

Sementara itu, aku masih bertanya-tanya, sebenarnya apa yang aku cari? Atau lebih tepatnya, siapa yang aku cari?

Aku pun berikrar untuk tidak menghubungi Emma lagi.

Jakarta, 23 Oktober 2014

Baca selanjutnya: Emma II

1.6.15

Siapa itu Muti'ah?


Muti'ah (kini merupakan istri orang lain dan seorang Ibu) dan saya beribu-ribu tahun yang lalu

"Honestly, you can't be ashamed of being an honest." -Ricky Gervais (2013, The Tonight Show Starring Jimmy Fallon)

Namanya adalah Muti'ah. Itu saja, irit bukan? Saya sih suka wanita yang irit.

Muti'ah adalah seorang istri dari seorang buruh miskin yang sangat taat kepada suaminya. Setiap suaminya pulang kerja ia selalu mengelap keringat yang mengucur dari tubuh yang baru bekerja keras itu. Bahkan, Nabi Muhammad SAW menyebut Muti'ah adalah wanita pertama yang akan masuk surga, bukan istri nabi sendiri.

Biarpun begini, saya juga pernah jatuh cinta. Setidaknya, beribu-ribu tahun lalu saya meyakini begitulah rasanya jatuh cinta. Ternyata, perasaan semacam itu yang membuat saya manusia.

Masa Lalu
Saya dan Muti (begitu saya memanggilnya) sayangnya, bukanlah jenis manusia yang sering mengobrol berdua pada saat itu. Saya hanya berkutat dengan bertahan hidup di kelas yang diunggulkan secara akademis, bermain musik, latihan paduan suara dan bermain basket; sementara dia terlihat bahagia dengan teman-teman wanita di kelasnya. Jika waktu dapat diputar kembali ke masa itu, mungkin itu akan menjadi salah satu hal terpenting yang akan saya ubah.

Sangat menyenangkan, bagi saya, untuk selalu mengingat wanita yang baik ini. Ia seolah telah mengajarkan banyak hal kepada saya, atau paling tidak ia sudah dapat membuat saya melakukan apa yang sebelumnya saya pikir tidak akan pernah bisa saya lakukan sekalipun.

Aneh memang, bagaimana bisa seseorang mengajarkan banyak hal jika mengobrol secara ekslusif saja sangat jarang terjadi? Di titik ini, banyak hal yang mustahil saya jelaskan secara masuk akal untuk menguatkan keyakinan bahwa ia, entah bagaimana, merupakan motivasi yang kuat yang memengaruhi saya selama ini.

Ketika saya sudah tidak dapat lagi menjelaskan banyak hal tentang seseorang yang saya kagumi atau suka secara masuk akal, di situlah saya merasa telah jatuh cinta.

Di kepala saya; masih tergambar jelas adegan di mana ia menenteng mukena ke mushola/mesjid di sekolah untuk solat, menyanyi bersama ketika latihan paduan suara, saling senyum tersipu malu ketika digoda teman-teman wanitanya atau ketika saya menyaksikan ia menangis sendirian di tangga menuju kelasnya.

Ya, saya kira saya adalah satu-satunya orang yang secara kebetulan pernah menyaksikan ia menangis di tangga waktu itu. Rasanya, kami pernah membahas kejadian itu dan meskipun ia masih mengingat momen itu, ia tidak ingat apa yang menyebabkan ia menangis saat itu.

Siapa yang pernah menyangka bahwa dari kejadian yang saya lihat itu, saya terinspirasi untuk membuat sebuah lagu berjudul Impossible, yang bercerita tentang laki-laki yang mengerti bahwa seorang wanita tengah kesusahan melawan dunia dan cobaan di dalamnya, namun keadaan tidak memungkinkan laki-laki itu untuk membantunya menghadapi itu semua.

Berangkat dari situ, saya jadi mulai secara perlahan berani untuk membuat lagu lainnya. Begitu nikmat rasanya. Jika saja saya tidak pernah menyaksikan kejadian dengan sosok yang tepat itu, saya tidak akan pernah tahu apakah saat ini saya masih berselera untuk terus berkarya dan menikmati musik.

Seperti yang saya katakan tadi, Ia seolah telah mengajarkan banyak hal kepada saya, atau paling tidak ia sudah dapat membuat saya melakukan apa yang sebelumnya saya pikir tidak akan pernah bisa saya lakukan.

"Jangan pernah malu menjadi orang yang jujur. Negara ini sedang membutuhkan lebih banyak orang yang seperti itu."

 
Masa Kini
Jangan salah paham, saya sudah tidak berharap bahwa ia akan menjadi wanita yang menyambut saya dengan senyum manis dari bibir kecilnya ketika saya pulang kerja. Saat ini, ia sudah berkeluarga, memiliki satu anak, dan akan menjadi istri sekaligus Ibu yang luar biasa, persis seperti gambaran Muti'ah di atas tadi, Insha Allah.

Namun, saya enggan menghapus semua kenangan dan pelajaran yang saya dapat darinya. Itu akan seperti memencet tombol OFF dari proses kreativitas saya. Dalam konteks asmara, rasanya semua sudah selesai; tapi dalam konteks menghargai pengalaman hidup, rasanya itu semua patut dipertahankan.

Rasanya, ia tidak tahu, mungkin tidak akan pernah tahu, bahwa ia memiliki peranan yang begitu penting  di masa lalu dan masa sekarang yang saya jalani. Tapi, bukankah manusia memang seperti itu? Beberapa dari kita begitu bermakna bagi orang lain, mungkin tidak pernah saling tahu dan tidak pernah saling memiliki, kemudian berakhir hanya mengagumi.

Kesimpulan
Pada akhirnya, tulisan ini adalah sebuah penghargaan bagi kami berdua. Saya berterimakasih atas segala peranan yang ia mainkan, meskipun hanya sebentar, di dalam hidup saya. Kemudian, saya berterimakasih kepada diri saya sendiri karena telah berhasil melewati masa-masa itu dan bertahan hidup hingga saat ini.

Terima kasih, Mut.

Tell me anything. Go on.

Name

Email *

Message *