Read more WTF stuff 👉

Search whatever here 👇

28.1.16

Multikulturalisme: Bagaimana Saya Semakin Menghormati Warga Keturunan Arab, Cina dan Lainnya di Purwakarta


Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.”

Soekarno, Presiden Republik Indonesia ke-1

Saya sedang dalam pencarian akan sejarah kabupaten tempat saya lahir, dibesarkan, sekolah, jatuh cinta dan akan dikuburkan, Purwakarta. Lebih spesifik lagi, saya selalu tertarik akan keberagaman etnis di Purwakarta yang mungkin belum pernah—mungkin karena enggan—diulas.

Secara pribadi, saya menyebut kawasan pusat kota Pasar Jumat sebagai Chinatown dan Pasar Rebo, sebagai Little Arab. Saya membuat kesan demikian, karena di tempat-tempat tertentu, banyak tinggal mayoritas etnis keturunan Cina dan Arab yang selama ini telah menjadi bagian dari hidup saya. Kedua tempat tersebut merupakan kawasan perdagangan legendaris di Purwakarta, jantung perekonomian kota.

Lalu bagaimana sejarahnya etnis-etnis yang kaya akan budaya tersebut dapat berada di Purwakarta hingga sekarang?

Akhirnya, saya berjodoh dengan penelitian ilmiah Sejarah Purwakarta Abad ke-19 – Abad ke-20 yang dibuat oleh tim peneliti pimpinan Prof. Dr. A. Sobana Hardjasaputra, M.A., seorang intelektual Sunda dan guru besar di Universitas Padjajaran, Jatinangor. Penelitian ini diinisiasi oleh pemerintah daerah Kabupaten Purwakarta pada pertengahan 2003. 

Well, Pemda Purwakarta pada masa itu ternyata telah melakukan hal yang keren banget

Masa Penjajahan Belanda

Ketika kita masih dijajah oleh kompeni ada sistem hukum bernama Wijken Stelsel (Peraturan Pemukiman) yang terbagi dalam tiga golongan berdasarkan Indische Staat Regeling (Peraturan Pendudukan Kolonial Belanda), yaitu Europanen (golongan Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing, Arab, India, dan Cina), dan Inlander (pribumi).

Pada abad ke-19 peraturan tersebut dicabut. Kemudian, ketiga golongan itu mulai menyebar untuk mencari tempat bermukim yang lebih layak dari sebelumnya ketika sistem golongan pemukiman tersebut tidak berlaku lagi.

Perlu diketahui bahwa, nature hidup berkoloni para pendatang Hadhrami (sebutan untuk orang yang berasal dari Hadramaut, Yaman) maupun pendatang dari Cina pada masa itu telah lama ada berdasarkan penelitian Prof. Sobana. Jadi, keterangan itu menjawab pertanyaan mengapa etnis-etnis tertentu banyak berkumpul di wilayah tertentu, dalam konteks Purwakarta adalah, Pasar Jumat dan Pasar Rebo.

Menurut hasil penelitian Prof. Sobana, pada tahun 1855, dapat diduga kuat bahwa jumlah penduduk Cina di Purwakarta telah berjumlah ratusan orang. Hal ini terefleksi oleh keberadaan Letnan Cina bernama Tan Tiang Kee. Pemerintah Belanda hanya akan mengangkat seseorang letnan di antara sebuah kelompok ketika penduduk di kelompok itu telah berjumlah banyak.

Sementara itu, awal keberadaan orang Arab di Purwakarta secara signifikan diyakini ada pada pertengahan tahun 1920-an. Pada masa itu, terdapat seorang Letnan Arab bernama Sech Hasan bin Ali Bajeri. Lain hal dengan pendatang Cina yang baru mendapatkan posisi ketika jumlah penduduknya banyak, tidak ada penjelasan bagaimana Hasan mendapatkan pangkat Letnan tersebut.

Namun, penjelasan terbaik yang saya dapatkan mengenai ini adalah pertama memang banyak para pendatang Arab yang menyebar ke berbagai daerah di Indonesia selepas Wijken Stelsel kemudian mendapatkan posisi penting di pemerintahan, boleh jadi karena performanya yang dianggap baik oleh pemerintah kolonial. Kedua, pemerintah Belanda pasti akan menunjuk perwakilan dari berbagai etnis untuk menjadi “penghubung” antara pemerintah dengan penduduk. 

Asumsinya, Hasan dianggap sebagai prospek pemerintah kolonial sebagai penghubung orang Arab yang akan secara alamiah berkembang jumlahnya di Purwakarta di masa depan.

Catatan: Seluruh Letnan yang ditunjuk dan dipercaya oleh Belanda direncanakan untuk memuluskan komunikasi kepentingan Belanda kepada penduduk. Akan tetapi, Letnan-letnan tersebut justru memberontak berbalik membangun kekuatan bersama penduduk melawan Belanda hingga merebut kemerdekaan. Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara, misalnya, pernah ditunjuk Belanda membentuk organisasi untuk membantu kepentingan penjajah, namun tak lama dibubarkan Belanda setelah gerakan mereka diketahui malah ke arah nasionalisme.



Tabel di atas saya ambil dari data sensus pemerintah kolonial Belanda tahun 1845, menujukkan bahwa hanya ada 1 orang lelaki dan 1 wanita Arab di Sindangkasih, Purwakarta. Bagi yang belum mengetahui, Sindangkasih merupakan nama wilayah yang masih sangat dekat dengan, Little Arab, Pasar Rebo Purwakarta.

Oleh karena itu, semuanya kini menjadi lebih masuk akal mengapa etnis Arab di Purwakarta banyak berkumpul di kawasan Pasar Rebo Purwakarta.

Sementara itu, jumlah penduduk pendatang Cina di Purwakarta hampir mencapai serratus. Nampaknya, jumlah itu sudah dianggap cukup banyak oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menunjuk Tan Tian Kee menjadi Letnan.

Makna Pencarian Ini

Pencarian dan pengungkapan ini memiliki makna yang mendalam bagi diri saya pribadi. Di masa penjajahan kita semua tidak melihat Anda pribumi, pendatang Arab dari Yaman, atau dari daratan Cina, kita semua bertarung melawan musuh yang sama, yaitu penindasan penjajah kolonial Belanda, kemudian Jepang dan tentara sekutu pasca proklamasi.

Lalu apa artinya semua ini untuk saya dan Anda yang hidup di masa sekarang?

Saat ini, kekayaan Purwakarta semakin paripurna ketika keturunan Arab terus berkarya membuat mebel khas, berdagang di pasar, dan usaha lainnya. Begitu juga dengan keturunan Cina yang sama-sama terus mengembangkan semangat wirausaha di jantung kota Purwakarta. Tentu saja semua itu memberikan sumbangsih ekonomi dan sosial yang besar bagi Purwakarta.

Yang paling utama, setelah mengetahui ini semua, saya semakin menaruh rasa hormat kepada seluruh teman-teman keturunan Arab dan Cina beserta keluarga. Saya tidak peduli sikap politik maupun agama mereka. Saya akan tetap menghormati mereka semua.
ki-ka: Fahmi, Agi dan Abdullah
Pernikahan pasangan keturunan Arab yang meriah.
Foto-foto merupakan dokumentasi pribadi Fahmi Bajry, digunakan sesuai atas seizinnya.




Warga Purwakarta, sudah semestinya tidak memandang apalagi mempermasalahkan siapa anak siapa, siapa etnisnya apa, siapa agamanya apa, saling curiga, saling menuduh, dan lain sebagainya. 

Namun, kita harus tetap menjaga semangat persatuan yang dibina oleh para leluhur kita di Purwakarta untuk melawan segala macam penindasan, kebodohan yang bisa membawa kepada kemiskinan.

Pada akhirnya, dari penemuan ini, saya melihat sebuah keindahan di dalam diri etnis mana pun di Purwakarta dan begitu berwarna dan beragamnya kebudayaan yang bisa kita bagi, tidak hanya Sunda. 

Atas kenyataan di atas, saya sepenuhnya menolak ide etnosentrisme bahwa kebudayaan Sunda-lah yang terbaik apalagi diklaim menjadi suku yang pertama akan masuk Surga oleh sebagian orang. Siapa kita untuk menentukan itu? Menurut saya, itu konyol sekali.

Kita mesti merayakan kekayaan yang kita punya ini.

Bacaan menarik, ulasan kritis berjudul: "Air Mancur Seharga 50 Miliar dan Pariwisata Purwakarta" oleh Hari Akbar.

21.1.16

Wawancara Ekslusif Beritagar.id dengan Bupati Purwakarta Membuat Saya Berpikir Lebih Keras Lagi

…bahwa apakah sesungguhnya masyarakat tengah diseret ke dalam hal-hal yang tidak substansial di Purwakarta?

Debat mengenai isu-isu seperti pengangguran, ketidakmerataan pembangunan, krisis air dan listrik yang kerap melanda, intimidasi politik, kekacauan lalu-lintas, ruang terbuka publik (#RIPSituBuleud, semoga amal ibadahnya diterima di sisi-Nya) dan hal nyata lainnya yang dirasakan oleh masyarakat Purwakarta malah kalah populer dengan persoalan Sampurasun dan hitung-hitungan kuantitatif/kualitatif akidah makhluk hina bernama manusia.

Apakah kita ini benar-benar serius, hey masyarakat Purwakarta? Frustrasi nih saya.

Setelah saya membaca wawancara ekslusif Beritagar.id dengan Bupati Purwakarta—yang tidak lama lagi akan menjadi Gubernur Planet Venus—Dedi Mulyadi, saya menjadi berpikir lebih keras lagi bahwa kita memakan ‘umpan’ yang diberikan dan kemudian terjerumus ke dalam pembahasan hal-hal yang Bupati (dan para konsultannya) ingin kita membahasnya; isu syirik, kemenyan, patung, tuduh si anu liberal, bukan liberal, FPI, bukan FPI, LSM, bajigur, colenak, blablabla, bala-bala, dan blablabla.

Kemudian tenarlah nama Gubernur masa depan Planet Venus dan Ormas Rock n Roll yang menunggangi Islam akibat percekcokan diantara kita. Sedih enggak sih? Kita ini hanya jadi korban atas perdebatan ga penting Gubernur masa depan planet Venus dan Ormas Rock n Roll loh. Coba pikirkan kembali, apa yang kita dapatkan sebagai masyarakat madani Purwakarta dari itu semua?

Apa enggak capek kita ini? Mengapa kita tidak melabeli diri kita sebagai sesama masyarakat Purwakarta yang ingin terus berkembang namun terkadang memiliki pemikiran/sikap politik yang berbeda di antara kita? (dan itu adalah sebuah keniscayaan)

Mau sampai kapan sih kita ‘dikendalikan’ oleh pihak sono dan pihak sini? Sok atuh geura harudang.. 

Jadi, perdebatan non-substansi yang kini berkembang di tengah masyarakat Purwakarta membuat otak kita tidak memikirkan hal-hal yang lebih strategis yang telah disebutkan di atas. Kita ‘dijebak’ dalam pembahasan yang tidak produktif mengenai hal-hal yang elusif, seperti agama, filosofi dan kebudayaan. 

Lebih jauh lagi, hal jelek seperti ‘perang saudara’—online mapun offline—di Purwakarta malah semakin terpupuk akibat perdebatan yang hanyalah Tuhan yang berhak menjadi hakimnya. Mereka yang tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, polos, mudah dihasut dan atau disewa di Purwakarta hanya akan menjadi alat bagi orang-orang yang memiliki kepentingan di kedua belah pihak.

Manusia Purwakarta, kita masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki arah perdebatan demi Purwakarta yang lebih baik ini. Kita belum terlambat untuk memulai kembali untuk lebih mengobservasi dan krtisis terhadap kebijakan-kebijakan publik, budget, maupun persoalan legislasi yang ada di Purwakarta.

Saya pribadi telah lama menyadari bahwa Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi merupakan sosok yang sangat konsisten mengabaikan skala prioritas dalam memimpin Purwakarta hingga kini. Sudah tahu kan keberadaan Air Mancur senilai 50 miliar di Purwakarta? Tentu saja sejumlah uang itu bukanlah untuk menyelesaikan persoalan yang langsung disuarakan oleh masyarakat Purwakarta (bukan akun BOT) melalui #SuaraPWK di media sosial.

Pelajar di Kecamatan Sukatani, Kabupaten Purwakarta, masih harus menyeberangi sungai setiap berjalan menuju sekolahnya


Saya berharap betul pesan dari saya ini dapat dibaca dan dipahami secara luas—meskipun Followers saya tidak sebanyak @negativisme—oleh masyarakat Purwakarta pada khususnya, dan pembaca @detikcom pada umumnya, agar kita bisa lebih berpikir secara non-partisan Like A Boss.

Kita telah diberi hati, jangan terus digunakan untuk memberi makan emosi, melainkan gunakanlah untuk menjadi pribadi penuh empati. Kita telah diberikan akal, gunakanlah dengan semestinya untuk berpikir secara kritis, mengobservasi dan mengupas hal-hal yang dirasa penting di Purwakarta.

Tell me anything. Go on.

Name

Email *

Message *