Read more WTF stuff 👉

Search whatever here 👇

30.9.15

Hanya Anda yang Dapat Menyelamatkan Purwakarta di Tahun 2018




Saya bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Penyayang bahwa pemilihan Presiden Republik Indonesia yang lalu suka tidak suka telah menumbuhkan—meski belum sepenuhnya secara matang—kepedulian masyarakat umum terhadap politik.
Satu-satunya hal yang menyedihkan bagi saya adalah aroma permusuhan yang terus ‘dibuat’ oleh pihak-pihak Yang Maha Tidak Bertanggung jawab untuk mengadu domba kita bahkan setelah pemilu berakhir.

Sementara itu, Purwakarta akan menghadapi pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada tahun 2018. Hasil dari pemilu tersebut mungkin dapat mengubah keadaan di Purwakarta hari ini menjadi lebih baik dan masuk akal lagi bagi manusia terdidik pada umumnya.

Semua itu tergantung pada Anda (dan tentu saja rida Tuhan Yang Maha Kuasa).

Oleh karena itu, saya, sebagai orang yang lahir, dibesarkan, sekolah, jatuh cinta, patah hati, dan berencana dikuburkan jasadnya di Purwakarta, sangat ingin mengutarakan tiga hal penting berkaitan dengan Pilkada Purwakarta 2018 mendatang (berlaku juga untuk Pemilihan Legislatif juga). 

1. Akibat tidak peduli terhadap politik sosial

Saya mengerti betul kalau tidak semua orang menikmati perbincangan dengan tema politik sosial. Terimalah kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Namun, lebih dari itu saya juga percaya bahwa politik sudah melekat pada diri kita semenjak kita lahir. Politik adalah fitrah kita.

Sebenarnya, kesadaran kita terhadap atau dalam menggunakan kekuatan politik sudah pernah dilakukan bahkan semenjak masa kanak-kanak (apa sekarang Anda sudah dewasa?). Buktinya, kita melakukan bersaing dengan beberapa kandidat lain dan melakukan berbagai manuver untuk mendapatkan perhatian dari calon pasangan kita. Ada yang memakai cara yang romantis, jujur, penuh kasih sayang, hingga—amit-amit—cara yang curang dan kotor.

Terdengar tidak asing bukan? PDKT adalah hal yang politis.

Besar kemungkinan, politik yang selama ini kita lihat, benci dan pahami merupakan politik praktis yang dijalankan oleh orang-orang yang curang dan tidak amanah sehingga membuat politik itu kotorPolitik selama ini yang telah dikotori manusia bukan politik yang serta-merta mengotori manusia.
 
Lalu, apa akibatnya jika kita tidak peduli terhadap politik itu? Kita menutup kemungkinan untuk mewujudkan segala harapan baik yang dibayangkan kemudian dipaksa/terpaksa menerima kenyataan yang sedang dan akan terjadi sebagai konsekuensi.

Dalam konteks PDKT di atas; mungkin kita tidak akan berhasil menjadi pasangannya yang mungkin sebenarnya bisa berlanjut hingga ke pelaminan, juga kemungkinan memiliki keturunan, dan Insha’allah dapat tinggal di rumah yang sederhana nan teduh. Akhirnya, kita dipaksa/terpaksa menerima kenyataan bahwa orang itu akan menjadi pasangan orang lain, menikahinya, memiliki keturunan dan tinggal bersama bahagia selamanya bagaikan Teletubbies.

Kembali ke konteks Purwakarta, kepedulian politik Anda terhadap Pilkada Purwakarta 2018 akan menentukan: 
  • Apakah anak atau saudara Anda harus masuk sekolah jam 6 pagi setiap harinya?
  • Apakah ada ancaman untuk dinikahkan secara paksa jika Anda bertamu lebih dari jam 9 malam?
  • Apakah Purwakarta dan warganya akan kembali diolok-olok oleh berbagai media nasional dan internasional akibat kebijakan yang konyol dan diskriminatif?
  • Apakah pembangunan infrastruktur di Purwakarta akan merata?
  • Apakah Anda dapat menjalani hidup dengan aman, tentram tanpa intimidasi dan bisa tidur nyenyak setiap malam?
  • Apakah Anda selalu harus menghadiri festival kebudayaan ambisius yang trivial?
  • Apakah mencabut izin operasional SMK/STM cukup strategis dan berkelanjutan untuk terus dipakai sebagai solusi menghentikan tawuran?
  • Apakah cukup sehat dan adil untuk berinvestasi di Purwakarta?
  • Apakah masyarakat dapat menikmati ruang terbuka publik dengan semestinya?
  • Apakah Purwakarta akan memiliki bioskop? (mohon maaf, pertanyaan retorikal saya yang ini terlampau tak masuk akal dan hampir mustahil terwujud?
 Dan lain sebagainya.. Jawaban dari itu semua sepenuhnya ada di tangan Anda.



2. Golput untuk pengecut 

Bagi saya, golput hanyalah untuk pengecut. Betapa tidak? Satu suara sangat berpengaruh kepada hasil akhir dari setiap pemilihan umum. Boleh jadi, penentu apakah orang amanah atau tidak yang akan terpilih sebagai Bupati bergantung pada satu suara itu, dan yang menerima akibat setelahnya? Masyarakat.

Setiap kandidat—baik yang benar-benar tulus dan jujur hingga licik, korup, antek-antek pewaris sistem rusak—akan mendorong Anda untuk menggunakan hak pilih. Tentu saja, karena mereka semua telah menyadari betul betapa satu suara pun berarti.

Sejengkel atau sejijik apa pun Anda terhadap politik, pergunakanlah suara Anda kepada salah satu kandidat yang diyakini menawarkan visi dan misi yang sesuai dengan harapan Anda untuk kehidupan di Purwakarta yang lebih baik.

Terlebih, jika Anda Golput/tidak menggunakan hak suara Anda kepada salah satu kandidat, Anda tidak berhak untuk melakukan protes mengenai kondisi apa pun yang terjadi kepada dia yang  nanti terpilih.

Pertanyaan saya, apa yang membuat Anda lebih berhak untuk melakukan protes ketika Anda tidak berpartisipasi dalam pesta demokrasi tersebut dibanding mereka yang benar-benar secara bertanggung jawab menggunakan haknya?

Lalu bagaimana jika pada akhirnya kita benar-benar salah pilih? Namanya juga hidup, banyak salah dalam memilih itu pasti, tidak akan semua pilihan dalam hidup selalu tepat. Kemudian, sebagai pemilih yang dewasa dan bertanggung jawab, kita berhak—bahkan pada titik tertentu wajib—mengeritisi secara sehat, cerdas, damai, dan konstruktif Si Bupati terpilih.

Yang terpenting adalah menjawab pertanyaan “Bagaimana jika pilihan kita semua tepat?”
 
Bahkan, kita masih belum dapat sepenuhnya sepakat akan definisi “tepat” untuk Bupati Purwakarta 2018 itu sendiri. Tepat bagi kita belum tentu tepat bagi orang lain.

Jika definisi “tepat” adalah seorang kandidat mendapatkan 100% suara dalam Pilkada, maka mungkin kita tidak akan pernah mendapatkan kepala daerah yang tepat selama-lamanya. Bukan begitu?

Jadi, tentu saja kita harus menyadari bahwa kita pasti akan tidak sepakat terhadap berbagai macam hal dengan berbagai pihak atau mungkin beberapa orang. Yang terpenting adalah membuka lebar pintu debat atau dialog terbuka dan memanfaatkan pendekatan dialektika tersebut sebagai sarana yang sehat untuk kita berdiskusi demi kebaikan yang lebih baik.

Oleh karena itu, please be a very very smart voter the best you can be, and vote for someone that fits your ideal. 


3. What should we do next then?

Wake up, my dearest Purwakartans! Be prepared to care about and actively contribute in things such as politics, civic engagement, etc, from now.
 
Bangunlah dan mulai peduli terhadap apa yang terjadi di sekitar kita. Pertanyakan banyak hal, jadilah lebih skeptis karena itu akan memudahkan untuk dapat berpikir lebih kritis. Secara bersamaan, banyaklah bermimpi dan memiliki angan-angan mengenai konsep kehidupan di Purwakarta yang lebih manusiawi, beradab, kreatif, prospektif, canggih dan hal positif lainnya.

Mengapa kita mesti berangan-angan? Itu karena kota-kota di belahan bumi lain saja dapat mewujudkannya, mengapa kita tidak?

Meskipun politik belum banyak dianggap sebagai topik yang asyik, saya tetap menganjurkan untuk memperbanyak diskusi secara sehat dengan anggota keluarga maupun teman-teman yang selama ini Anda anggap nyaman untuk hang out (Jangan lupa selfie dan bagikan di seluruh media sosial setelahnya). 

Percayalah bahwa kita akan selalu dapat mencari cara untuk membuatnya asik untuk diperbincangkan; bisa dibalut humor dan lain sebagainya. 

Penutup
Bukanlah maksud saya untuk mengatur hidup Anda, para pembaca yang saya hormati. Tentu saja Anda berhak menganggap semua ini omong kosong. Namun, ingatlah bahwa Anda tidak memerlukan pemerintah untuk menjadi masyarakat, tapi pemerintah memerlukan masyarakat untuk menjadi pemerintah.

Pilihlah mereka yang bertekad melayani Anda sebagai *masyarakat. Hanya anda yang dapat menyelamatkan Purwakarta di tahun 2018.

*Menjadi masyarakat pun mesti baik; taat membayar pajak, mematuhi aturan lalu lintas, peduli terhadap sesama, menolak politik uang, dan mementingkan kepentingan bersama daripada pribadi di masyarakat.

@ijey merupakan bagian kecil dari Jong Purwakarta. Tulisan ini merupakan pandangan pribadinya.


14.9.15

Tawuran? Menelaah Ulang Akar Permasalahan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK/STM) di Purwakarta

Tidak ada warga Purwakarta yang tidak mengetahui sengitnya permusuhan antara SMK/STM YPK dengan STM YKS, begitu pula kedua STM itu dengan STM lain, begitu pula STM lain dengan STM lainnya. Sederhananya, rivalitas STM di Purwakarta sudah berada pada tahap pabaliut, it's complicated, atau amat sangat rumit.




Penyebab rivalitas di atas beragam. Jika Anda bertanya ke berbagai sumber di setiap STM yang ada di Purwakarta, saya yakin Anda tidak akan mendapatkan jawaban yang seragam mengenai ini. Kesimpulannya, hingga tulisan ini diterbitkan, tidak seorang pun mengetahui secara pasti apa yang benar-benar menjadi dorongan utama para siswa STM di Purwakarta; apakah itu karena berebut wanita? Hasutan alumni/gangster? Hanya karena saling bertatapan mata di jalan? Saling mengejek? Kekerasan dalam keluarga? Itu semua masih misteri.

Tawuran yang telah membudaya semenjak saya masih mengenyam pendidikan di TK Melati, Gg. Mawar, dapat dikatakan telah mencapai titik terparahnya dalam empat tahun terakhir. Pada tanggal 10 Januari, saya dan Hari Akbar Muharamsyah membuat sebuah daftar pemantauan dan analisis media terkait kasus-kasus kekerasan remaja di Purwakarta rentang waktu 2011-2014, dan hasilnya:


......cukup menyedihkan. Insha Allah,  Anda tidak akan bosan membaca keseluruhan tabel tersebut berulang-ulang sambil mengucapkan istigfar.



Penting untuk diketahui bahwa Pemerintah daerah Kabupaten Purwakarta cukup menikmati peran sebagai pihak yang selalu menyalahkan Yayasan/SMK/STM atas setiap kasus yang terjadi, sementara pihak sekolah menolak untuk disalahkan karena menurut mereka segala upaya sudah dan selalu dilaksanakan agar anak-anak tidak kembali ke jalanan.

Titik terendah dari 'ritual' saling menyalahkan tersebut mulai tampak ketika Pemda menghentikan kegiatan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) bagi Yayasan yang siswanya terlibat tawuran melalui produk hukum yang beliau keluarkan. Itu ditanggapi dengan proses hukum yang dilakukan oleh Yayasan yang terdampak Peaturan Bupati tersebut. Kasus ini kini tengah berada di level banding dari pihak Pemda yang sebelumnya telah kalah.

Yang terbaru adalah Bupati Purwakarta akan mencabut izin operasi dua STM yang belum lama ini beberapa siswanya terlibat tawuran. Mungkin jalan pikiran kepala daerah Purwakarta adalah:

Jika ada hama di lumbung padi, bakar lumbungnya, jangan repot-repot membasmi hamanya. 

Saya--melihat dari kacamata masyarakat sipil yang juga adalah salah satu pemangku kepentingan di Purwakarta--memiliki asumsi bahwa setidaknya ada 4 (empat) alasan, jika bukan anggapan, terkait akar permasalahan budaya tawuran di kalangan siswa STM di Purwakarta:


1. SMK/STM Dianggap Tidak Bergengsi
Bagi saya, poin pertama ini semata-mata merupakan masalah pemasaran yang erat kaitannya dengan masalah reputasi. Poin ini merupakan poin introspektif yang amat sangat perlu disadari oleh seluruh pihak, bukan hanya sekolah. Reputasi saja tidak baik ditambah strategi marketing yang buruk, tentu akan semakin sulit untuk membentuk gengsi bukan gengster yah tersendiri.

Orangtua mana yang ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah yang memiliki reputasi buruk? Mungkin tidak ada kecuali mereka yang tidak memiliki banyak pilihan. Penting untuk dicatat bahwa hubungan antara reputasi-marketing-gengsi berlaku bagi semua seolah baik kejuruan maupun bukan karena ini merupakan aspek yang sangat umum dijadikan pertimbangan orangtua untuk pendidikan anaknya. Jadi, tidak ada diskriminasi di dalam kepala saya mengenai ini.

2. Kurangnya Dukungan para Pemangku Kepentingan
Jika dipetakan secara kasar, setidaknya saya dapat mengidentifikasi tiga pemangku kepentingan terbesar dalam fenomena ini; Sekolah, Pemda, dan--pihak yang selama ini peranannya absen--masyarakat sipil. Jika kita berbicara hubungan antara Pemda dan sekolah, kelihatannya jauh dari kata harmonis dengan hadirya berbagai ancaman bagi sekolah, tindakan hukum terhadap Pemda, saling menyalahkan,  boro-boro dukungan.

Lalu masyarakat? Selama ini kami berperan sebagai korban psikis maupun fisik. Rumah kami dijadikan tempat persembunyian para siswa yang tawuran maupun dikejar Satpol PP, Polisi, atau pun masyarakat lainnya. Kami hanya dapat mengoceh, mengerutkan dahi hingga berteriak kesal ketika kejadian tawuran berlangsung. Itulah peran penting kami. Hingga tulisan ini terbit, saya belum pernah mendengar apalagi melihat peranan masyarakat yang berusaha meemcahkan masalah semacam ini, selain kegiatan Goes to School yang dilakukan beberapa mahasiswa Purwakarta dari berbagai Universitas dalam mempromosikan pendidikan tinggi.

3. Kurangnya Sarana dan Prasarana Penyaluran Energi dan Potensi
Saya masih pernah muda dan sangat mengerti gejolak energi yang lubér di dalam tubuh. Energi tersebut pasti harus disalurkan, dan dapat dalam berbagai kegiatan seperti bermain sepakbola, bermusik, latihan paduan suara, mengikuti bimbingan belajar, bermain basket, latihan renang, bermain tenis, bermain orkestra, dan kegiatan lain sebagainya.

Lalu bagaimana ketika sarana dan prasarana untuk menyalurkan energi secara positif dan produktif, boro-boro terawat, ada saja tidak? Ya pilihannya tidak sulit, sebagai remaja Anda tinggal nongkrong bergerombol di pinggir jalan dan mencari berbagai alasan untuk tawuran atau membajak truk di tengah jalan.

Lalu siapa yang bertanggung jawab dalam memenuhi sarana dan prasarana kegiatan kepemudaan di Kabupaten Purwakarta? Jokowi. Ya, ini semua salah Jokowi dan kaum Yahudi yang berkonspirasi di belakangnya.

4. Krisis Kepercayaan Diri
Saya percaya bahwa karakter yang gampang nyolot, insecure, dan mengedepankan kekerasan berakar pada krisis kepercayaan pada dirinya. Amerika, negara paling insecure se-dunia, adalah contoh sempurna untuk itu dalam menjalankan agenda menjaga keamanan nasional yang selalu mereka 'jual'. Anak-anak STM yang doyan tawuran ini nampaknya tidak beda.

Yang perlu kita kejar adalah aspek apa yang sesungguhnya menyebabkan mereka dianggap sebagai masyarakat kelas sekian di mata warga Purwakarta lainnya? Mengapa mereka yang bergerombol nongkrong di pinggir jalan dipandang rendah oleh masyarakat? Mengapa mereka mengalami krisis kepercayaan diri? Apa sebenarnya yang membuat mereka takut dalam menjalani hidup masa kini dan menyongsong masa depan mereka?

Kita tidak pernah peduli untuk berusaha mencari tahu jawaban dari itu semua sehingga lingkaran setan se-setan-setannya ini terus berlanjut di masyarakat.  

Seluruh asumsi saya ini mungkin saja salah. Setidaknya ini bisa dipertimbangkan untuk menjadi bahan pemikiran lebih lanjut.

Mengapa peran masyarakat itu penting?

Suatu hari, anak saya baru turun dari sebuah bis yang mengantarnya pulang dari Bandung, tempatnya kuliah. Tiba-tiba, tak lama setelah ia turun di perempatan Jl. Veteran (Jalan Baru), ia terjebak di tengah hiruk pikuk tawuran antar STM dan kemudian tertusuk celurit yang dibawa oleh para pelaku tawuran tersebut. Saya dan keluarga harus menanggung rasa duka yang mendalam mendapati kenyataan bahwa anak saya yang tidak tahu apa-apa harus menjadi korban jiwa dari perbuatan konyol oknum pelajar karena isu tawuran selama ini tidak benar-benar secara serius dicari solusi apalagi tindakan pencegahannya.

Apakah ilustrasi di atas mungkin terjadi? Di Purwakarta, tidak ada yang tidak mungkin terjadi saat ini. Percayalah.



Itulah mengapa, kehadiran masyarakat sebagai pemangku kepentingan juga tidak kalah penting. Saya hanya dapat berharap--karena segala kemungkinan terburuk itu tidak belum pernah terjadi pada orang-orang yang kita cintai--semoga hal-hal yang masih kita anggap sepele seperti tawuran ini tidak akan pernah kita anggap serius di masa depan.

Do you care enough?

4.9.15

Bagi Saya, #SuaraPWK Lebih Urgen Daripada Perdes Menikah Paksa


                                                       Diambil dari http://www.hurriyetdailynews.com
Seperti biasa, pemerintah Kabupaten Purwakarta kembali telah gagal menentukan mana isu yang strategis dan memerlukan tindakan  segera, dan mana yang tidak. Bagi saya, #SuaraPWK lebih mendesak untuk diperhatikan daripada rancangan kebijakan yang sedang ramai diperbincangkan di dunia saat ini, Perdes Bertamu dan Menikah Paksa.

Namun, Pak Bupati dan para konsultan komunikasinya patut berbangga minggu ini. Setelah sukses menjadikan Purwakarta sebagai langganan peraih penghargaan yang apalah signifikasinya bagi kesejahteraan masyarakat MURI, kali ini kota kelahiran saya berhasil diliput oleh media dari Belanda, Inggris, India, Amerika, Pakistan, Belgia, Vietnam, dan Swiss berkaitan dengan kebijakan menikah paksa (dibiayai seluruhnya oleh Pemda) yang akan diberlakukan jika setelah tiga kali peringatan karena bertamu di rumah pacar lebih dari jam 9 malam tidak digubris.

Jika Anda malas membaca berita di atas satu per satu, biar saya rangkum dan terjemahkan untuk Anda. Kumpulan artikel tersebut berhasil menggambarkan Purwakarta sebagai sebuah tempat antah berantah di belahan bumi mana yang peradabannya dianggap sedang mundur dengan munculnya kebijakan menikah paksa yang tidak masuk akal, yang berpotensi merenggut hak asasi manusia. Itu menurut artikel-artikel tersebut menurut saya juga.

Peraturan Desa dan Dana Desa
Peraturan yang disebutkan di atas nanti akan dituangkan ke dalam Peraturan Desa. Jika tidak, Pemda mengancam akan menahan Dana Desa yang nominalnya hampir semiliar dari APBN itu.  Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No 111 tahun 2014 Tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa, sebuah peraturan desa itu dalam perencanaanya:


Beberapa poin yang saya tekankan dari Peraturan Menteri tersebut adalah; jika kita ingin bertindak konstitusional yah, Pemerintah Desa harus menjadi pihak yang memprakarsai inisiatif pembuatan Perdes bukan karena disuruh Bupati

Kedua, Perdes itu dirancang oleh Kades dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan warga melalui lembaga kemasyarakatan, lembaga adat dan lembaga desa lainnya boleh memberikan masukan. Yang terpenting adalah setiap perdes wajib dikonsultasikan kepada masyarakat desa.

Nah, jika mereka tidak setuju apa jalan terus? Ya bisa sajalah. Di Purwakarta apa sih yang tidak bisa? Hidup aman, tentram, sejahtera, adil tanpa paksaan dan intimidasi.

Sekedar informasi, Dana Desa menurut Peraturan Presiden No 22 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Perubahan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN hanya dapat ditahan/dikurangi/dikenai sanksi administratif berupa pengurangan apabila Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) lebih dari 30% (Pasal 27, ayat 1)

Jadi, bukan karena tidak membuat Perdes, yah.

Urgensi #SuaraPWK

Bagi yang belum mengetahui, #SuaraPWK merupakan hashtag yang diinisiasi oleh akun @info_purwakarta di Twitter guna memfasilitasi seluruh masyarakat Purwakarta dalam mengekspresikan suara mereka baik berupa keluhan hingga apresiasi. 

Sayangnya, hingga saat ini, sebagian besar #SuaraPWK adalah keluhan, ketidakpuasan, hingga suara merasa tidak diperlakukan secara adil di Purwakarta. Buktinya, ketika 4 Februari 2015 sepulang kerja saya iseng memetakan #SuaraPWK dari 2012-2015, hasilnya adalah:
Hasil pemetaan #SuaraPWK dari 2012-2015, dan masih berkembang hingga detik ini. Poin yang bold adalah yang frekuensi kemunculannya lebih tinggi.

Nah, sekarang, mari kita tekan tombol ON di kepala kita untuk menyalakan akal sehat untuk membahas ini.

Jika dibandingkan dengan peraturan desa yang sedang dirancang, yang sekaligus menjadi topik olok-olok di berbagai negara di atas, saya melihat ke 63 poin di atas merupakan isu-isu yang relatif lebih strategis yang datangnya langsung dari akun BOT dan akun hasil beli Followers masyarakat Purwakarta, dan mereka merasa perlu tindakan sesegera mungkin untuk itu.

Tidak perlu penjelasan lebih lanjut yah, saya kira kita sudah cukup jelas untuk ini.

Kontemplasi
Mungkin, belum cukup banyak alasan bagi masyarakat Purwakarta untuk merasa sangat marah setelah banyak hal yang merugikan mereka beserta keluarga terjadi di mana kebijakan Pemda berkontribusi atas itu dalam beberapa tahun terakhir. 
Jika Perdes di atas lahir dan dipatuhi seluruh masyarakat, maka keyakinan saya terhadap umat manusia yang waras akan semakin tergerus. Saya tidak akan terkejut ketika nanti akan muncul kebijakan semacam: 

"Dilarang menggunakan toilet duduk karena tidak mencerminkan nilai-nilai Ki Sunda", 
"Diatur gaya-gaya yang harus dipakai ketika berhubungan seks yang sesuai kebudayaan Sunda", 
"Tidak diperkenankan orang tua bertanggung jawab dan mengawasi langsung anaknya yang memiliki pacar atau beraktivitas di luar", 
dan lain sebagainya.

Mungkin terjadi? Mungkinlah. Tidak akan ada yang protes kok. Iya kan? 

Memangnya Anda pernah menyangka setelah  bertahun-tahun hidup jungkir balik di Purwakarta kemudian suatu hari akan muncul kebijakan semacam dinikahkan secara paksa? Tidak? Saya juga. Oleh karena itu, itu semua mungkin saja.

Tell me anything. Go on.

Name

Email *

Message *