Membacalah dengan kuping yang dingin.
credits |
Surah Al-Maidah Ayat 51, menjelang pemilihan Gubernur
(Pilgub) DKI Jakarta 2017, pamornya semakin naik. Kegiatan “pilih-pilih” ayat
Al-Quran yang tidak jarang dilakukan tanpa pengetahuan dan konteks menyeluruh
dalam menafsirkannya ini tidak lepas dari akan majunya kembali Basuki “Ahok”
Tjahja Purnama di Pilgub DKI tersebut.
Bagi yang belum mengetahui, Ahok merupakan warga negara Indonesia keturunan Tiongkok yang beragama Protestan (salah satu agama yang diakui secara konstitusional oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Bagi yang belum mengetahui, Ahok merupakan warga negara Indonesia keturunan Tiongkok yang beragama Protestan (salah satu agama yang diakui secara konstitusional oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Terjemahan Al-Maidah ayat 51 yang hits disebar di media sosial milik seorang
Yahudi, Facebook, itu adalah sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di
antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 51)
Meskipun bukan keturunan Habib, saya memutuskan
untuk meneliti lebih jauh ayat tersebut menggunakan kapasitas otak saya yang seadanya
ini. Namun, dalam perspektif mantan mahasiswa linguistik Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI), saya penasaran untuk menyelami diskursus ini menggunakan
kerangka berpikir pragmatik.
credits |
Menurut ahli Linguistik sekaligus Atase
Pendidikan dan Kebudayaan KBRI London Prof.
E. Aminuddin Aziz (2001), tuturan selalu diungkapkan dalam sebuah
konteks, dan konteks merupakan sarana penjelas akan suatu maksud. Oleh karena itu, tuturan (terjemahan Al-Maidah ayat 51)
semakin menarik untuk dipelajari secara kontekstual.
Akhirnya, saya melacak rekaman pengajian ulama
yang langganan dituduh sebagai Syi’ah, Quarish Shihab. Lucunya, menurut
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga cendikiawan muslim Mahfud MD,
tuduhan terhadap Pak Quraish sebagai Syi’ah
muncul karena ilmu Pak Quraish yang luas sehingga beliau mampu menjelaskan
hal-hal mengenai Syi’ah hingga Khawarij dengan jernih. Oh, Pak Quraish
merupakan seorang Profesor yang memperlajari studi tafsir Al-Quran Universitas
Al-Azhar, Mesir, lulus dengan predikat Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syaraf al-Ula (summa cum laude).
Saya menemukan sepuluh video e-Dakwah Pak
Quraish yang membedah Surah
Al-Maidah ayat 51-54 di Yusup. Yang menarik, Ibu
Zaenah Arifin dari Majelis Taklim Al-Ikhlas, sangat tertarik dengan pembahasan
tafsir surah Al-Maidah secara kontekstual dalam pertanyaanya, sama seperti
saya. I heart you, Ibu Zaenah.
Beberapa hal yang saya pelajari dari e-Dakwah
Pak Quraish adalah:
Pahami konteks ayat-ayat sebelumnya
credits
Sangat penting untuk membaca ayat-ayat
Al-Maidah 1-50 sebelum menafsirkan ayat 51 karena orang awam akan mudah
kehilangan konteks utuh. Pak Quraish membahas konteks awal ayat-ayat yang lalu sebelum
membahas ayat 51, ia mengatakan, “Al-Quran menyempurnakan apa yang keliru kitab-kitab
sebelumnya yang juga diakui oleh Allah SWT, yang telah dikelirukan/diubah oleh
masyarakat yang lalu.”
Ketika masuk ke pembahasan ayat 51, ia mengatakan, “Kalau memang begitu sifatnya mereka (orang Yahudi), mengubah kitab suci mereka, enggan mengikuti Al-Quran, keinginannya mengikuti jahiliah (kebodohan), maka janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani itu sebagai Aulia”.
Dengan penjelasan tersebut, saya
memahami bahwa penekanan ada pada jangan menyatu kepribadian kita dengan orang-orang
yang keinginannya jahiliah, seperti
penyebar kebencian, pembunuh, pembohong, koruptor, dan lain sebagainya. Apapun
agamanya, jahiliah tetap saja jahiliah, bukan?
Jangan serampangan artikan kata-kata dalam ayat
credits
Aulia itu
apa? Itu adalah bentuk jamak dari kata Wali.
Wali itu pada mulanya berarti “yang dekat”, Walikota itu seharusnya merupakan orang yang paling dekat dengan warganya.
Orang yang terdekat dengan kita paling berpotensi untuk menolong ketika kita
kesusahan. Dari sini, kata Wali mengalami
perluasan makna menjadi Penolong,
Pelindung (dalam pernikahan, terutama bagi wanita agar tidak dibohongi
oleh pihak yang tak bertanggung jawab),
Pemimpin dan sebagainya.
Dalam konteks hubungan antar
manusia, Aulia bermakna persahabatan
yang begitu kental sehingga tidak lagi ada rahasia (ini sudah lebih intim
daripada hanya sekedar “pemimpin”), atau dalam pernikahan adalah Suami-Istri. Catatan pentingnya adalah jika kaum Nasrani
dan Yahudi sama-sama memperjuangkan kemaslahatan umat manusia, tidak dilarang
bagi umat Muslim untuk memilihnya sebagai teman dekat, apalagi hanya pemimpin. Yang dilarang keras
adalah, bersama-sama mengikuti
sifat-sifat jahiliah yang sebelumnya telah disinggung.
Bekerjasamalah (dalam kebaikan) dengan orang yang satu visi
credits
Pertanyaan dari Ibu
Nuryat, Majelis Taklim Al-Muhajirin adalah, “Kalau dalam organisasi
kemasyarakatan kita mempunyai pemimpin non-muslim, bagaimana tindakan kita sebagai
Muslim?”
Jawabannya adalah, seperti Ospek,
kembali ke poin nomor satu. Kemudian, Allah menyuruh kita untuk bekerja sama
dalam kebaikan dan untuk kesejahteraan bersama. Jika pemimpin non-muslim
tersebut memiliki kepemimpinan yang berfaedah bagi sesama, maka tidak harus
menjadi masalah.
Penjelasan tersebut masuk akal. Jika suatu hari
saya bekerja di Amerika Serikat di mana Muslim adalah minoritas, dan memiliki
bos seorang Kristen yang luar biasa baik hati, kredibel dan berpengalaman, apakah saya
harus menentang seluruh instruksinya karena kepercayaan dia? Rasanya, kurang ajar dan dangkal sekali
pemikiran saya jika saya lakukan itu.
Dari e-Dakwah yang cukup dalam mengupas definisi
Aulia tersebut, saya menjadi semakin
memahami bahwa memahami konteks secara utuh dalam sebuah tuturan itu amat sangat
penting agar kita tidak mudah tersesat, dihasut atau terjebak dalam adu domba
kepentingan politik pihak-pihak tertentu.
Namun, ya, saya kira sah-sah saja jika seseorang,
dalam konteks pemilihan kepala daerah, memilih calonnya semata-mata hanya
karena pertimbangan kepercayaan si calon tersebut tok!
Akan tetapi, nampaknya akan jauh lebih baik dan produktif jika perdebatan
lebih diramaikan di topik-topik substansial seperti program-program yang
ditawarkan oleh para calon tersebut, dan sebagainya.
Ini menarik banget untuk diulas oleh tiap keluarga Muslim Indonesia (Jakarta) di meja-meja makan mereka, bersama dengan anak-anak mereka. Tantangannya adalah, bagaimana membuka pikiran dari para generasi yang menutup pikiran mereka dari ilmu dan tafsiran secara mendalam? Maukah sekedar 5 lima menit untuk mendengarkan? terlepas dari diterima atau tidaknya.
ReplyDeleteToo bad I once met an old guy, a religious one, He said that we couldn't pick a leader from any other religion, it's HARAM and DOSA.
Hi Blue Idea Blog thanks for stopping by!
ReplyDeleteSetuju, pembahasan semacam ini harusnya selalu bisa dibahas secara terbuka dan bisa dicari landasan akademisnya (karena cendikiawan muslim pasti melakukan kajian-kajian).
Semoga kenalan anda itu segera mendapatkan hidayah. Allah memberkatinya. :)
Bacaan umum: https://almaaidah51.blogspot.co.id/
ReplyDeleteHi Anonymous,
DeleteTerima kasih atas link-nya! Meskipun, saya kira akan lebih kredibel jika penulis blog tersebut dapat menuliskan/mentautkan sumber-sumber rujukan dan bahkan terbuka dengan identitasnya sendiri. :)