“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.”
― Soekarno, Presiden Republik Indonesia ke-1
Saya sedang dalam pencarian
akan sejarah kabupaten tempat saya lahir, dibesarkan, sekolah, jatuh cinta dan
akan dikuburkan, Purwakarta. Lebih spesifik lagi, saya selalu tertarik akan
keberagaman etnis di Purwakarta yang mungkin belum pernah—mungkin karena enggan—diulas.
Secara pribadi, saya menyebut
kawasan pusat kota Pasar Jumat sebagai Chinatown
dan Pasar Rebo, sebagai Little Arab. Saya
membuat kesan demikian, karena di tempat-tempat tertentu, banyak tinggal
mayoritas etnis keturunan Cina dan Arab yang selama ini telah menjadi bagian
dari hidup saya. Kedua tempat tersebut merupakan kawasan perdagangan legendaris
di Purwakarta, jantung perekonomian kota.
Lalu bagaimana sejarahnya
etnis-etnis yang kaya akan budaya tersebut dapat berada di Purwakarta hingga
sekarang?
Akhirnya, saya berjodoh dengan
penelitian ilmiah Sejarah
Purwakarta Abad ke-19 – Abad ke-20 yang dibuat oleh tim peneliti pimpinan Prof. Dr. A.
Sobana Hardjasaputra, M.A.,
seorang intelektual Sunda dan guru besar di Universitas Padjajaran, Jatinangor.
Penelitian ini diinisiasi oleh pemerintah daerah Kabupaten Purwakarta pada
pertengahan 2003.
Well, Pemda Purwakarta pada masa itu
ternyata telah melakukan hal yang keren banget.
Masa Penjajahan Belanda
Ketika kita masih dijajah oleh kompeni ada sistem hukum bernama Wijken Stelsel (Peraturan Pemukiman)
yang terbagi dalam tiga golongan berdasarkan Indische
Staat Regeling (Peraturan
Pendudukan Kolonial Belanda), yaitu Europanen (golongan Eropa), Vreemde Oosterlingen (Timur Asing,
Arab, India, dan Cina), dan Inlander
(pribumi).
Pada abad ke-19 peraturan tersebut dicabut.
Kemudian, ketiga golongan itu mulai menyebar untuk mencari tempat bermukim yang
lebih layak dari sebelumnya ketika sistem golongan pemukiman tersebut tidak berlaku
lagi.
Perlu diketahui bahwa, nature hidup berkoloni para pendatang Hadhrami (sebutan untuk orang yang berasal dari Hadramaut, Yaman)
maupun pendatang dari Cina pada masa itu telah lama ada berdasarkan penelitian
Prof. Sobana. Jadi, keterangan itu menjawab pertanyaan mengapa etnis-etnis tertentu
banyak berkumpul di wilayah tertentu, dalam konteks Purwakarta adalah, Pasar
Jumat dan Pasar Rebo.
Menurut hasil penelitian Prof. Sobana, pada tahun 1855, dapat diduga kuat bahwa
jumlah penduduk Cina di Purwakarta telah berjumlah ratusan orang. Hal ini terefleksi
oleh keberadaan Letnan Cina bernama Tan
Tiang Kee. Pemerintah Belanda hanya akan mengangkat seseorang letnan di antara
sebuah kelompok ketika penduduk di kelompok itu telah berjumlah banyak.
Sementara itu, awal keberadaan orang Arab di
Purwakarta secara signifikan diyakini ada pada pertengahan tahun 1920-an. Pada
masa itu, terdapat seorang Letnan Arab bernama Sech Hasan bin Ali Bajeri. Lain hal dengan pendatang Cina yang baru
mendapatkan posisi ketika jumlah penduduknya banyak, tidak ada penjelasan
bagaimana Hasan mendapatkan pangkat Letnan tersebut.
Namun, penjelasan terbaik yang saya dapatkan
mengenai ini adalah pertama memang banyak para pendatang Arab yang menyebar ke
berbagai daerah di Indonesia selepas Wijken
Stelsel kemudian mendapatkan posisi penting di pemerintahan, boleh jadi
karena performanya yang dianggap baik oleh pemerintah kolonial. Kedua,
pemerintah Belanda pasti akan menunjuk perwakilan dari berbagai etnis untuk
menjadi “penghubung” antara pemerintah dengan penduduk.
Asumsinya, Hasan dianggap sebagai prospek
pemerintah kolonial sebagai penghubung orang Arab yang akan secara alamiah
berkembang jumlahnya di Purwakarta di masa depan.
Catatan: Seluruh Letnan yang ditunjuk dan
dipercaya oleh Belanda direncanakan untuk memuluskan komunikasi kepentingan
Belanda kepada penduduk. Akan tetapi, Letnan-letnan tersebut justru memberontak
berbalik membangun kekuatan bersama penduduk melawan Belanda hingga merebut
kemerdekaan. Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara, misalnya, pernah ditunjuk
Belanda membentuk organisasi untuk membantu kepentingan penjajah, namun tak
lama dibubarkan Belanda setelah gerakan mereka diketahui malah ke arah
nasionalisme.
Tabel di atas saya ambil dari data sensus
pemerintah kolonial Belanda tahun 1845, menujukkan bahwa hanya ada 1 orang
lelaki dan 1 wanita Arab di Sindangkasih, Purwakarta. Bagi yang belum
mengetahui, Sindangkasih merupakan nama wilayah yang masih sangat dekat dengan,
Little Arab, Pasar Rebo Purwakarta.
Oleh karena itu, semuanya kini menjadi lebih
masuk akal mengapa etnis Arab di Purwakarta banyak berkumpul di kawasan Pasar
Rebo Purwakarta.
Sementara itu, jumlah penduduk pendatang Cina
di Purwakarta hampir mencapai serratus. Nampaknya, jumlah itu sudah dianggap
cukup banyak oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menunjuk Tan Tian Kee
menjadi Letnan.
Makna Pencarian Ini
Pencarian dan pengungkapan ini memiliki makna
yang mendalam bagi diri saya pribadi. Di masa penjajahan kita semua tidak
melihat Anda pribumi, pendatang Arab dari Yaman, atau dari daratan Cina, kita
semua bertarung melawan musuh yang sama, yaitu penindasan penjajah kolonial
Belanda, kemudian Jepang dan tentara sekutu pasca proklamasi.
Lalu apa artinya semua ini untuk saya dan Anda
yang hidup di masa sekarang?
Saat ini, kekayaan Purwakarta semakin paripurna ketika keturunan Arab terus berkarya membuat mebel khas, berdagang di pasar, dan usaha lainnya. Begitu juga dengan keturunan Cina yang sama-sama terus mengembangkan semangat wirausaha di jantung kota Purwakarta. Tentu saja semua itu memberikan sumbangsih ekonomi dan sosial yang besar bagi Purwakarta.
Saat ini, kekayaan Purwakarta semakin paripurna ketika keturunan Arab terus berkarya membuat mebel khas, berdagang di pasar, dan usaha lainnya. Begitu juga dengan keturunan Cina yang sama-sama terus mengembangkan semangat wirausaha di jantung kota Purwakarta. Tentu saja semua itu memberikan sumbangsih ekonomi dan sosial yang besar bagi Purwakarta.
Yang paling utama, setelah mengetahui ini
semua, saya semakin menaruh rasa hormat kepada seluruh teman-teman keturunan
Arab dan Cina beserta keluarga. Saya tidak peduli sikap politik maupun agama
mereka. Saya akan tetap menghormati mereka semua.
Pernikahan pasangan keturunan Arab yang meriah.
|
Namun, kita harus tetap menjaga semangat persatuan yang dibina oleh para leluhur kita di Purwakarta untuk melawan segala macam penindasan, kebodohan yang bisa membawa kepada kemiskinan.
Pada akhirnya, dari penemuan ini, saya melihat
sebuah keindahan di dalam diri etnis mana pun di Purwakarta dan begitu
berwarna dan beragamnya kebudayaan yang bisa kita bagi, tidak hanya
Sunda.
Atas kenyataan di atas, saya sepenuhnya menolak ide etnosentrisme bahwa kebudayaan Sunda-lah yang terbaik apalagi diklaim menjadi suku yang pertama akan masuk Surga oleh sebagian orang. Siapa kita untuk menentukan itu? Menurut saya, itu konyol sekali.
Atas kenyataan di atas, saya sepenuhnya menolak ide etnosentrisme bahwa kebudayaan Sunda-lah yang terbaik apalagi diklaim menjadi suku yang pertama akan masuk Surga oleh sebagian orang. Siapa kita untuk menentukan itu? Menurut saya, itu konyol sekali.
Kita mesti merayakan kekayaan yang kita punya ini.
Bacaan menarik, ulasan kritis berjudul: "Air Mancur Seharga 50 Miliar dan Pariwisata Purwakarta" oleh Hari Akbar.
terimakasih sudah berbagi ilmu
ReplyDeleteHalo Tresia, terima kasih banyak sudah mampir dan membaca tulisan ini!
DeleteBagaimana kamu menyukainya?