Tentu saja. (via merdeka) |
Menjelang akhir bulan Ramadan ini saya tertarik dengan ramainya netizen mengomentari mengenai larangan Takbiran/Parade Bedug keliling yang diberlakukan oleh pemerintah DKI Jakarta yang kebetulan Gubernurnya adalah seorang Protestan. Isu semacam ini--agama bercampur politik--sangat 'digemari' oleh banyak netizen dan politisi di Indonesia, masing-masing memainkan isu tersebut demi mencapai kepentingan masing-masing.
Terlepas dari itu semua, ketertarikan saya berujung pada survey sederhana yang saya lakukan di Twitter selama lima jam. Memang, hasil dari survey ini tidak bisa disebut mewakili suara masyarakat Indonesia, akan tetapi menarik bagi saya untuk mengetahui apa yang orang-orang sekitar saya pikirkan mengenai isu ini.
Saya menekankan pada unsur kebermanfaatan kegiatan di dalam survey tersebut. Meskipun menurut Brigjen. Pol. Drs. Rikwanto, S.H., M.Hum., takbir keliling lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya, kita dapat melihat apakah beberapa teman saya setuju dengan itu.
Dan hasilnya:
43% responden berpendapat bahwa Takbir/Parade Bedug keliling membawa sedikit manfaat bagi diri kita sendiri maupun masyarakat. Sementara 29% responden berpikir bahwa kegiatan tersebut sama sekali tidak berfaedah. Dari sini, kita bisa melihat lebih dari setengah total responden cukup kritis terhadap unsur kebermanfaatan kegiatan tersebut.
Hasil yang sama, 14% responden, berpendapat bahwa aktivitas tersebut memiliki banyak manfaat bagi diri sendiri maupun sesama dan di sisi lain 14% berpendapat kegiatan tersebut malah cenderung merugikan diri sendiri dan sesama.
Salah satu responden, Ahmad Febri Ramadiyana, menyampaikan poin yang cukup menarik:
Balasan saya:
Teman saya, Choi, memberikan pandangannya secara gamblang terhadap survey ini:
Oh, ya, kata "Mangga" di tweet Choi bukanlah jawaban dari pertanyaan "Buah favorit kamu apa, Cho?" Melainkan, jawaban atas permintaan izin saya bahwa pendapatnya akan dimuat di tulisan ini. "Mangga" adalah bahasa Sunda dari "Silahkan" bagi yang ingin tahu banget nih.
Dari sini saya mulai memahami bahwa pelarangan oleh pemerintah DKI Jakarta (yang lalu) bukan didasari oleh kebencian terhadap agama Islam apalagi sebagai upaya membungkam hak-hak seorang muslim. Melainkan, peraturan itu saya yakini berangkat dari kekhawatiran orangtua, teman, keluarga, sahabat, kekasih, dan pemerintah terhadap keselamatan orang-orang terkasih.
Saya dan teman-teman di bawah mengucapkan Selamat hari raya Idul Fitri dan terima kasih telah membaca sejauh ini.
via tribun kaltim |
No comments:
Post a Comment
Wanna save the world? Share this piece.